Fenomena Kematian Bahasa dan Pelestarian Bahasa Tolaki
Diskusi
saya setahun yang lalu di Sydney, Australia, dengan salah seorang sahabat masih
sangat kuat dalam ingatan. “Untuk apa kamu meneliti soal itu? Bahasa itu
mungkin saja terus berevolusi dan akhirnya berubah” komentarnya saat mendengar
sedikit ringkasan penelitian mengenai isu terkini pelestarian bahasa Tolaki
yang saya lakukan di akhir tahun 2015 silam di kampung halaman saya, Desa Simbune, Kabupaten Kolaka Timur. Saya
diam beberapa saat mencerna apa yang kawan ini ucapkan. Ia pun lanjut
menjelaskan bahwa saya lebih baik membiarkan bahasa daerah saya mengikuti ‘arus
evolusi’ yang mungkin saja sedang terjadi dalam bahasa Tolaki. Pernyataan ini
membuat saya geram namun bingung harus membalasnya dengan argumentasi seperti
apa. Jika mengikuti logika pernyataan kawan tersebut, maka tentu saja akan
berujung pada kesimpulan bahwa melestarikan bahasa adalah hal yang sia-sia;
bahasa terus berubah dan lahir layaknya makhluk hidup yang nantinya akan mati
dan diganti dengan makhluk hidup yang baru. Namun bahasa bukan semata-mata alat
komunikasi manusia dalam menyampaikan pesan dalam bentuk tutur kata namun juga
berfungsi sebagai identitas budaya dan sosial yang nantinya menjadi panduan
bagi manusia lainnya untuk mengenal satu sama lain. Artinya, meskipun ‘evolusi
bahasa' terjadi (bertambahnya atau bahkan usangnya beberapa perbendaharaan
kata, dsb), saya tidak rela jika unsur adat dan budaya yang dibawahi oleh
bahasa Tolaki tergerus akibat perubahan yang mungkin saja membuatnya punah
suatu saat. Dan ketika mengatakan ‘punah’, hal ini merujuk pada tidak adanya
penutur aktif bahasa tersebut. Faktanya, sejak dilakukannya sensus bahasa pada
tahun 2000 berdasarkan informasi yang dapat diakses dari Ethnologue, data
statistik bahasa sedunia berbasis web, bahasa Tolaki termasuk salah satu
dari 98 bahasa daerah di Indonesia yang berstatus ‘Threatened’ atau
‘Terancam Punah' dengan jumlah keseluruhan pengguna sebanyak 331.000 penutur;
dialek Konawe 268.000 penutur, dialek Mekongga 33.000 penutur, dan sisanya
dituturkan dari dialek lainnya seperti Asera, Laiwui, dan Wiwirano.
Ada
banyak kegiatan berbasis adat dan non-adat yang tidak bisa terlaksana jika
tidak menggunakan bahasa Tolaki. Dalam pernikahan, Perapu’a terdiri dari
beberapa tahap yang mengharuskan adanya kegiatan verbal oleh Tolea Pabitara,
pemimpin acara adat, menggunakan bahasa Tolaki. Penggunaan Pole
atau doa/mantra dalam berbagai konteks, misalnya dalam aktifitas mesadaka’
atau pengobatan tradisional, juga merupakan contoh mutlak fungsi bahasa Tolaki
di ranah etnik yang masih menjadi praktek umum di masyarakat Tolaki. Oleh
karenanya bisa disimpulkan bahwa berkurangnya penutur bahasa Tolaki akan berdampak
pada praktek-praktek berbasis etnik yang mungkin saja hilang di abad mendatang
jika regenerasi pelestarian bahasa tidak segera dilakukan di masa sekarang.
Sudah banyak contoh language death atau kematian bahasa yang dapat
menjadi referensi akan kenyataan pahit bahwa fenomena hilangnya bahasa daerah
adalah sesuatu yang tak terelakkan jika tak ada tindakan nyata terhadapnya.
Chimariko, misalnya, bahasa yang pernah dituturkan di wilayah Trinity County
bagian utara California, Amerika
Serikat, punah saat penutur terakhirnya meninggal pada tahun 1950. Di
Australia, salah satu bahasa Aborigin bernama Malyangapa punah ketika Lauire
Qualyle, penutur terakhirnya, meninggal di tahun 1976. Di Indonesia sendiri, 12
bahasa daerah telah resmi mengalami kepunahan dan kebanyakan tidak sempat
didokumentasikan, artinya kepunahan tersebut membawa serta unsur linguistik,
nilai budaya, dan sejarah berharga komunitas penuturnya. Melihat contoh kasus
seperti ini, bukan tidak mungkin dalam kurun waktu kurang dari satu abad ke
depan status bahasa Tolaki akan berangsur-angsur menjadi bahasa minoritas di
Sulawesi Tenggara atau, yang terburuk, mengikuti nasib bahasa yang telah punah
karena tak ada lagi orang yang menuturkannya.
Meskipun
ancaman kepunahan bahasa jelas adanya, pelestarian bahasa daerah tentu bisa
dilakukan secara bertahap dengan mulai mempraktekkannya dari lingkungan
terkecil yakni keluarga. Jika orang tua memiliki latar belakang suku Tolaki
yang mana mereka cukup mahir menggunakan bahasa daerah, maka mereka harus
berinisiatif untuk dapat menjadikan bahasa Tolaki sebagai bahasa kedua setelah
bahasa Indonesia jika masih terlalu sulit untuk menjadikannya bahasa pengantar
utama dalam keseharian di rumah tangganya. Tanpa adanya paparan bahasa Tolaki
di dalam rumah, anak-anak mereka juga cenderung untuk tidak termotivasi dalam
mempraktekkan bahasa tersebut; jika orang tua tidak menggunakan bahasa Tolaki,
hampir tidak mungkin anak-anak mereka akan mahir berbahasa daerah. Keterlibatan
langsung sektor pendidikan dalam hal pengadaan kurikulum untuk bahasa daerah
juga perlu menjadi perhatian. Saat kunjungan saya di salah satu desa di
kabupaten Kolaka Timur di tahun 2015, buku-buku usang mata pelajaran Bahasa
Tolaki yang telah digunakan hampir dua dekade lamanya menjadi saksi bisu betapa
tergerusnya pelajaran ini dari segi desain kurikulum yang sifatnya
berkelanjutan dan seyogyanya inovatif.
Diakses pada http://www.kalosaranews.com/2016/10/kebudayaan-kalosara-di-masyarakat-suku-tolaki-sulawesi-tenggara/ |
Selain
itu, dokumentasi bahasa melalui penelitian oleh mereka yang bergelut di bidang
linguistik sebaiknya diperbanyak. Pada tahun 2012, Owen Edwards, seorang
mahasiswa asal Australia yang berkuliah di Australian National University,
melakukan penelitian dan memilih judul Grammatical Functions of Tolaki
atau Fungsi Tata Bahasa Tolaki untuk tesisnya. Jika orang asing saja berminat
meneliti bahasa kita lalu kenapa kita tidak? Belum banyak orang Indonesia,
khususnya orang Tolaki, yang tertarik meneliti bahasa Tolaki dengan konten yang
berkualitas dan hal ini dibuktikan dengan kurangnya penelitian yang berfokus
langsung ke pelestarian bahasa Tolaki. Sumbangsih kolaborasi riset lintas studi
juga bisa menjadi bahan pertimbangan sebab bahasa sifatnya multidisiplin; mulai
dari sosial, pendidikan, hingga antropologi. Kombinasi keterlibatan masyarakat
Tolaki untuk dapat menuturkan bahasa daerah mereka serta kontribusi di bidang
lainnya diharapkan mampu memaksimalkan usaha pelestarian bahasa daerah demi
menghentikan bom waktu kematian bahasa Tolaki di masa depan.
Comments
Post a Comment