Triple Treat: Passport, Laptop, and Tea

What would be the best thing that most people born in the beginning of the twenty first century Indonesia should actually be grateful for? Social media phenomenon? Popular low-cost flights? or, maybe, 3D movies? You name it. To better reflect how much the world we are living in now has given to us, we should travel back in time when none of those inventions exist . A classic night-time story was once delivered by my mother mentioning that grandma, her mother, needed to walk for miles to reach a traditional market complete with some peeled coconuts to sell which continued for decades before transportations were available and asphaltic roads were finally built in the village. Very often, my mother added another story but this time is not the one about grandma. It is about her, that studying without electricity was an utter nightmare. Interestingly, parents of my high school mates had apparently told similar stories to them that it was simply strenuous to access ‘easy’ life in

Diskusi saya setahun yang lalu di Sydney, Australia, dengan salah seorang sahabat masih sangat kuat dalam ingatan. “Untuk apa kamu meneliti soal itu? Bahasa itu mungkin saja terus berevolusi dan akhirnya berubah” komentarnya saat mendengar sedikit ringkasan penelitian mengenai isu terkini pelestarian bahasa Tolaki yang saya lakukan di akhir tahun 2015 silam di kampung halaman saya,   Desa Simbune, Kabupaten Kolaka Timur. Saya diam beberapa saat mencerna apa yang kawan ini ucapkan. Ia pun lanjut menjelaskan bahwa saya lebih baik membiarkan bahasa daerah saya mengikuti ‘arus evolusi’ yang mungkin saja sedang terjadi dalam bahasa Tolaki. Pernyataan ini membuat saya geram namun bingung harus membalasnya dengan argumentasi seperti apa. Jika mengikuti logika pernyataan kawan tersebut, maka tentu saja akan berujung pada kesimpulan bahwa melestarikan bahasa adalah hal yang sia-sia; bahasa terus berubah dan lahir layaknya makhluk hidup yang nantinya akan mati dan diganti dengan makhluk hidup